Minggu, 11 Oktober 2009

Kelahiran dan pertumbuhan beliau.

Sayid Alwi bin Muhammad Al-Haddad adalah seorang lelaki sholeh, bertaqwa dan termasuk wali-wali Allah, hidup di rumahtangga keluarga Nabi SAW di Tarim. Ibunda Sayid Alwi yaitu Syarifah Salma juga seorang wali Allah yang memiliki ma’rifat. Al-Imam Abdullah Al-Haddad telah menceritakan beberapa keramat dan keistimewaan dari neneknya ini. Ayahanda Syarifah Salma yaitu Sayid Umar bin Ahmad Al-Munaffir Ba’alawi termasuk ulama’ sempurna nan arif, Al-Imam Al-Haddad mengahafal empatpuluh atau limapuluh keramat dari beliau.
Suatu saat Sayid Alwi bin Muhammad Al-Haddad yang waktu itu masih perjaka berkunjung ke tempat seorang arif billah Sayid Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi untuk mendapat beberapa faedah ilmu pengetahuan dan meminta do’a. Dalam pertemuan itu Sayid Ahmad berkata, “Putra-putramu putra-putraku, semuanya memiliki barakah”. Selang beberapa lama Sayid Alwi menikah dengan seorang wanita salehah cucu dari Sayid Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi yang bernama Salma binti Aidrus bin Ahmad Al-Habsyi. Dari pernikahan ini lahirlah beberapa putra dan putri, diantara putra-putra tersebut adalah Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dalam hal ini Sayid Alwi berkata, “Aku tidak mengerti arti isyarat dari kata-kata Sayid Ahmad kecuali setelah lahirnya putraku Abdullah karena aku melihat tanda-tanda kewalian dan kemulyaan sangat jelas pada putraku ini”.
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad lahir di kota Tarim tepatnya di desa Subair, malam senin 5 Sofar 1044 Hijriah. Ketika beliau berumur 4 tahun beliau terserang penyakit cacar yang mengakibatkan hilangnya penglihatan beliau. Coba kita perhatikan ada seorang anak yang kehilangan penglihatan pada umur 4 tahun, bagaimanakah pengaruh kebutaan ini pada sang anak? Apakah dia menjadi murka dan marah terhadap musibah yang telah menimpanya? Ataukah kebutaan itu menjadikannya seorang lemah yang selalu bersandar kepada orang lain dalam setiap kubutuhannya? Apakah terlihat darinya kesan sebagai orang tunanetra?
Sama sekali tidak! Bahkan kita bisa lihat beliau sebagai seorang yang giat bersungguh-sungguh dalam menghafal Al-Qur’an sampai khatam, sepulang dari tempat belajar Al-Qur’an bersama salah seorang temannya, beliau masuk ke salah satu masjid di Tarim kemudian keduanya sholat sebanyak seratus atau duaratus rakaat, itu semua beliau lakukan sebagai rasa syukur terhadap Allah SWT. Hilangnya penglihatan beliau tidak membuatnya lupa atas nikmat-nikmat yang Allah berikan padanya, beliau selalu bersyukur, memuji tuhannya, rela dengan segala suratan takdir yang Allah tulis untuknya, selalu beramal siang malam demi mendapat kerelaan dari Allah SWT.
Al-Imam Al-Haddad bercerita, “Sejak ketika aku masih kecil, aku selalu giat dalam beribadah dan berbagai macam mujahadah (usaha dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT) sehingga nenekku Salma binti Sayid Umar bin Ahmad Al-Munaffir Ba’alawi dulu sering menegurku “Kasihanilah dirimu” jika beliau melihatku terlalu giat dalam ibadah karena kasih sayang beliau padaku”. Begitu pula kedua orang tua Al-Imam Al-Haddad selalu merasa kasihan kepada beliau jika memerhatikan beliau terlalu memayahkan diri dengan berbagai macam ibadah. Mengenai hal ini beliau bercerita, “Kadang-kadang aku meninggalkan banyak dari mujahadah pada masa-masa pertamaku, semua itu aku lakukan demi dua orang tuaku lantaran aku melihat mereka berdua sangat sayang kepadaku”. Beliau juga bercerita, “Pada permulaan mujahadahku, dalam tempo lama selalu memakan makanan-makanan kasar dan memakai pakaian-pakaian kasar”.
Kesibukan beliau dalam ibadah dan berbagai macam mujahadah tidak menghalangi beliau untuk kadang-kadang mengisi masa kecilnya dengan bermain bersama anak-anak kecil lain yang sebaya dengan beliau. Ketika beliau menceritakan masa kecilnya beliau sangat bersemangat dan betul-betul kagum akan masa kecil, pernah beliau bercerita ketika pada suatu hari beliau melempar pohon sidr (widara yang daunnya biasa dipakai untuk memandikan orang mati) ternyata batu lemparan itu malah mengenai kepala adik beliau yang bernama Alhamid sampai berdarah, kemudian sehabis maghrib adik beliau Alhamid tadi lewat di tempat beliau mengaji dan memanggil-manggil nama beliau padahal padahal waktu itu giliran beliau membaca, karena beliau terlambat memenuhi panggilan itu Alhamid adik beliau langsung melempar batu ke arah beliau dan mengenai beliau, setelah melempar dia langsung lari dan dikejar oleh anak-anak kecil lain sampai tertangkap. Kalau mengingat kejadian itu beliau berucap, “Subhanallah alangkah manisnya masa kecil dan masa muda”.
Ketika pada usia 4 tahun beliau buta, Allah langsung mengganti penglihatan beliau dengan mata batin yang lebih terang dari mata biasa oleh karena itu beliau bercerita, “Dulu di saat aku masih kecil, aku tidak pernah bersikap seperti orang tidak melihat (buta) baik dalam berjalan maupun dalam bermain”. Suatu saat dalam salah satu majlisnya beliau mendengar suara anak kecil berdehem, umurnya sekitar 12 tahun, beliaupun bertanya, “Siapa anak kecil ini?” maka beliau diberi tahu siapa anak itu dan siapa orang tuanya, maka beliau menegur bapak anak itu yang memang hadir di situ, “Kenapa kau biarkan dia duduk di sini dan tidak kau biarkan dia pergi bermain bersama anak-anak lain?” “Saya ingin dia mendapat manfaat dari majlis antum” jawab si bapak, beliaupun menegaskan, “Engkau saja yang mengambil manfaat menggantikan dia, sedangkan dia biarkan bermain sekarang, kalau tidak, dia akan mencari permainan di luar jam bermain yang seharusnya tidak pantas dia lakukan”.
Guru pertama beliau adalah orang tua beliau sendiri, dalam menekuni ilmu-ilmu agama beliau berguru pada ayahnya sendiri yaitu Sayid Alwi bin Muhammad Al-Haddad, kemudian beliau juga belajar kepada beberapa ulama’ berbagai macam ilmu. Tentang permulaan masa belajar ini beliau bercerita, “Setelah aku mengkhatamkan Al-Qur’an, ayahku berkata padaku: Sekarang kamu belajar fiqh dan aku punya kitab Al-Irsyad yang bagus coba hafalkan. Pada waktu itu aku sudah mulai beribadah dan bermujahadah sekedarnya, waktu itu umurku belum mencapai 15 tahun, pada saat itu aku selalu hadir di majlisnya Sayid Sahal Al-Kabsh, dalam majlisnya beliau sering aku dengar mencaci fiqh dan para ahli fiqh, bahkan beliau ingkar terhadap beberapa ulama’ fiqh dan mencela mereka termasuk Syekh Ibn Hajar, maka aku menjawab perintah ayahku tadi: Aku tidak ingin belajar fiqh karena aku sering mendengar seorang Sayid mencaci fiqh dan para ahli fiqh. Maka ayahku menjawab: Setiap manusia butuh fiqh, tidak ada alasan untuk tidak belajar fiqh. Kemudian aku berkata: Aku ingin belajar Bidayatul Hidayah. Bagus, kata ayahku, aku juga punya kitabnya. Aku ingin sekali menghafal kitab Bidayatul Hidayah maka ayahku yang membacakan untukku sampai pada {وها أنا مشير إليك}.
Al-Faqih (ahli fiqh) Bajubair mengajar di daerah An-Nuwaidarah, banyak sekali para saadah yang belajar kepadanya, maka aku pun pergi kepadanya dan hadir majlisnya. Setelah itu aku maju untuk minta izin mempelajari sebuah kitab padanya, maksudku di lain waktu, kemudian di hari kedua aku kembali datang ke tempat Al-Faqih Bajubair. Aku ingin menghafal kitab Bidayatul Hidayah dan aku ingin mempelajari kitab tersebut padamu, kataku. Beliau menjawab: Menghafal Bidayah itu sulit, di sini ada beberapa orang yang belajar kitab Bidayah, maka sebaiknya kamu dengarkan bacaan mereka dan lebih baik kamu menghafal Al-Irsyad. Ternyata isyarat beliau sama dengan isyarat ayahku, aku bertanya: Menghafal Al-Irsyad itu sulit bagaimana aku bisa menghafalnya?. Beliau menjawab: Kamu minta seseorang untuk membacakan untukmu dan mendengarkan hafalanmu. Maka aku penuhi hal itu karena isyarat itu sama seperti isyarat ayahku, maka beliau pun membacakan untukku saat itu juga dari awal kitab Al-Irsyad:
الحمد لله الذي لا تحصى مواهبه ولا تنفذ عجائبه ولا تحصى له منن ولا تختص بزمن دون الزمن
Maka aku keluar dari tempat beliau dan aku sudah hafal bagian pertama tadi, kemudian aku selalu mendengarkan orang-orang yang membaca kitab Bidayah dan menghafal kitab Al-Irsyad pada beliau sampai pada bab Hal-hal Yang Diharamkan Ketika Sedang Ihram. Kemudian Sayid Abu Bakar Bilfaqih hendak pergi ke India dan mengajak Al-Faqih Bajubair untuk pergi bersamanya, membantunya dalam segala kebutuhannya. Maka berangkatlah beliau bersama Sayid Abu Bakar Bilfaqih ke India”.
Al-Imam Al-Haddad tumbuh dengan sangat baik, tanda-tanda keberuntungan dan keberhasilan merupakan warisan dalam keluarga beliau dalam lingkungan yang baik, ibarat pohon yang tinggal memetik buahnya. Inilah sebuah warisan Nabi Muhammad SAW yang mengalir pada keturunan Beliau para saadah alawiyin.
Al-Imam Al-Haddad memiliki teman-teman pada masa kecil yang kehidupan mereka serupa dengan kehidupan beliau. Apapun yang beliau harapkan dari mereka sebagai seorang teman dan sahabat mereka pun mengharapkan hal serupa. Dalam hadits disebutkan:
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
Maka aneh sekali anak-anak kecil yang berpaling dari permainan kanak-kanak dan menyibukkan diri dengan menghafal Al-Qur’an, mengekang hawa nafsu dan mencari ilmu. Alangkah anehnya anak-anak kecil yang mengerti bahwa mereka tidak diciptakan kecuali untuk Allah sehingga mereka mencarinya dan tidak mencari selainnya.
Di antara teman-teman beliau adalah Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bilfaqih, beliau suka berjalan-jalan bersama Al-Imam Al-Haddad ke lembah-lembah di sekitar Tarim, kemudian mereka berdua bertadarrus Al-Qur’an. As-Sayid Bilfaqih membaca seperempat juz dan mengulang bacaan tersebut dengan tanpa melihat mushhaf, setelah itu Al-Imam Al-Haddad mengulang bacaan itu, begitu pula yang mereka lakukan saat mempelajari fiqh. Dan dua anak ini selepas ngaji di waktu dhuha langsung menuju salah satu masjid di Tarim untuk sholat di dalamnya seratus atau duaratus rakaat, sehabis sholat Al-Imam Al-Haddad berdo’a memohon agar dapat diberi maqom (kedudukan) As-Syekh Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus sedangkan As-Sayid Bilfaqih memohon maqom kakeknya yaitu Al-Imam Abdullah bin Muhammad Shohibus Syubaikah. Demikianlah usaha kedua anak istimewa ini agar dapat dekat di sisi Allah SWT hingga mereka dewasa. Mengingat masa-masa ini Sayid Abdullah Bilfaqih berkata, “Kami tumbuh bersama tetapi Al-Haddad telah mendahuluiku”. Dan beliau pernah bercerita, “Sesungguhnya dia (Al-Imam Al-Haddad) dibuka hatinya oleh Allah sejak kecil, kita melihatnya jika dia membaca surat Yasin dia selalu terkesan dan menangis tersedu-sedu, dia hampir tidak kuat membaca surat mulia ini, oleh karena itu kami menduga bahwa pembukaan hati beliau adalah pada surat ini”.
Di antara sahabat beliau ada pula Al-Imam Ahmad bin Umar Al-Hinduan yang merupakan sahabat karib beliau di saat mereka belajar kepada As-Sayid Al-Faqih Abdurrahman Baharun. Dalam hal ini Sayid Al-Hinduan bercerita, “Kita dulu dari awal belajar sampai beranjak dewasa sering berkumpul saya dan Ustadz Abdullah Al-Haddad ra. Kadang-kadang kita bertemu di hadrah-hadrah dzikir yang bacaan-bacaannya dibaca dengan suara lantang, tiba-tiba Sayiduna Abdullah Al-Haddad mengalami wajd (tenggelam dalam dzikir) yang mengambil kesadaran beliau, bahkan kadang-kadang beliau tidak sadar sampai kita bawa ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam ra.
Termasuk sahabat, beliau Sayid Ahmad bin Hasyim bin Ahmad Al-Habsyi, mereka berdua sering mentelaah kitab-kitab Al-Ghozali dan diwan-diwan (kumpulan sya’ir) para pecinta Allah seperti As-Syekh As-Sudi. Beliau menceritakan hal ini, “Kami selalu bersatu sejak awal sampai pada puncak, kami, begitu pula ketika kita bersama-sama datang ke tempat As-Sayid Al-Arif Umar bin Abdurrahman Al-Atthos. Waktu itu Beliau berkata kepadaku: Engkau dan Sayid Abdullah Al-Haddad bersetara pada permulaan kalian dan nantinya kalian akan berdua akan berpisah pada akhir maqom kalian.” Sayid Ahmad Al-Habsyi juga menceritakan pengalaman beliau yang lain saat bersama-sama di tempat Al-Imam Umar bin Abdurrahman Al-Atthos, “Ketika kami belajar dengan Sayid Umar Al-Atthos ra, aku melihat Sayid Abdullah Al-Haddad telah dibuka hatinya oleh Allah SWT sedangkan aku belum maka aku mengadu pada guruku Al-Imam Umar Al-Atthos tentang hal ini, maka beliau menyentuh dadaku sembari mengucapkan:
اجتمع شمله بشملها اتصل حبله بحبلها انطوت الأحشاء على جنينها سطع نور المصطفى صلى الله عليه وسلم في جبينها
Maka seketika terbukalah hatiku”.

Kamis, 05 Maret 2009

Pembaharu islam abad 12 hijriyah.

Al-Imam Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad
“Sesungguhnya misi dari seorang wali adalah menunjukkan jalan kepada Allah, mengajak hanya kepadanya dan menyepelekan selainnya” kata Al-Imam Abdullah Al-Haddad. Seluruh tokoh pemimpin dari ulama’ dan orang-orang sholeh dalam masa beliau telah bersaksi bahwa beliau (Al-Imam Abdullah Al-Haddad) telah benar-benar melaksanakan pedoman di atas dengan sebaik-baiknya sehingga beliau pada masa hidupnya dikenal sebagai Quthbud Da’wah wal Irsyad. Sesungguhnya Allah SWT telah memberi beliau keistimewaan dalam hal mengajar, menulis, menyingkap perkara-perkara yang rumit dan menjelaskannya, serta menyampaikan ilmu-ilmu mu’amalat kepada kaum muslimin dengan segala golongan dan tingkatan mereka.
Dan tanpa diragukan lagi beliau adalah seorang pembaharu agama pada abad duabelas hijriah. Pengaruh beliau telah tersebar di timur dan barat. Selalu berkesan pada umat islam sampai hari sekarang ini. Jika kita duduk di tanah haram Mekkah kita akan mendengar seorang lelaki dari Kenya atau Tanzania membaca Rotibulhaddad, jika kita duduk di tanah haram Medinah kadang-kadang kita mendengar seorang ulama’ membaca Wirdullathief, jika kita pergi ke Malaysia atau Singapura maka kita akan mendengar seorang da’I berceramah, “Al-Imam Al-Haddad berkata”, jika kita berkunjung ke Yaman maka kita akan mendengar seorang munsyid melagukan qasidah-qasidah dari diwan Al-Haddad dan jika kita pergi ke London bahkan ke Portugal atau Argentina kita akan mendapat orang-orang yang mempelajari karya-karya Al-Imam Al-Haddad yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Alhasil da’wah Al-Imam Al-haddad telah benar-benar telah membuat pengaruh dan kesan yang sangat pada seluruh umat islam baik dengan kalam, pena, suri tauladan, wirid-wirid, murid-murid beliau juga keturunan beliau.